sampah masyarakat

Tadi saya habis baca post ini, nah daripada kepanjangan komen, akhirnya buat post sendiri. 😀

Saya ingat dulu pernah merasa jengkel dengan orang yang anggap peminta- minta, pengamen, dan teman- temannya adalah sampah masyarakat. Ada rasa tidak terima karena (setahu saya) mereka pekerja keras juga, hanya saja belum diberi kesempatan untuk hidup mapan, dan berakhir dengan meminta belas kasihan orang. Toh, orang yang memberi ikhlas- ikhlas saja, jadi gak merugikan siapapun donk.

Namun kini, meskipun sebutan itu terlalu kasar, sebutan itu ada (sedikit) benarnya. 😦 Apa pasal? Sehari- hari saya bantu ibu bapak jualan buah. Selalu pengemis dan pengamen datang silih berganti, sehari bisa 8- 10 kali. Kebayang kalau 500/ orang, sehari sudah berapa? Sebulan? Dia gak kerja apa- apa, mondar- mandir menjual iba dan saya menjadi pelanggan setia.

Saya gak sakit hati kalau orangnya renta, sudah gak bisa apa- apa. Nah ini? Masih sehat! Laki- laki ada, perempuan ada, anak- anak juga ada! Pernah saya bilang, “Lewati aja mas!” Pengamennya pura- pura gak dengar atau berlalu sambil marah- marah kasih sumpah serapah. Gak sopan banget dah, besoknya datang minta uang lagi. Ya ampun! Risih saya jadinya, tapi kalau pas sendirian ya takut juga. Pengamennya berdua, laki- laki, gede- gede lagi orangnya. 😦

Suatu kali, seorang laki- laki sehat, muda, bersih, bertato dimana- mana, datang menghampiri saya. Dia bilang satu kata yang terdengar seperti ‘Jeruk’. Terus saya tanya, “Jeruk yang mana, Pak?” Eh, dianya bentak saya sambil melotot, “Njalok! (Minta)” Ya terpaksa saya kasih, dalam hati sih gak rela, meski cuma 500 rupiah. Sampai sekarang orangnya sering mampir dan saya masih gak rela. Sunggguh.

Pernah pula sewaktu ada pengamen, saya tidak ada pecahan 500, tinggal cuma 200. Biasanya saya kasih 1000 dan minta kembalian tapi kali itu pecahan terkecil 50000 di kotak uang. Pas saya kasihin uang 200 nya, dengan kurang ajarnya dia membolak- balik uang itu di bawah lampu tepat di depan saya sambil bilang dengan bahasa jawa, “Masih ada uang segini?” Coba, bagaimana perasaan Anda? Lagi- lagi, saya masih pelanggan setia.

Orang- orang seperti itu gak cuma di tempat jualan buah. Kalau pas di rumah, saya sampai malas buka pintu. Banyak banget pengamen dan peminta- minta dengan beragam cara. Kapan hari ada yang kasih stiker terus suruh bayar seikhlasnya. Ada juga yang mengatasnamakan panti asuhan, kasihin amplop dan minta diisi. Oh, saya ingat sampai ada yang mengetuk pintu dan terjadilan dialog ini (yang sebenarnya dalam bahasa jawa):

Saya : Cari siapa, Bu?

Bu xx : Saya xx dari yyyyy (menyebutkan nama desa yang saya lupa) mau silaturahim sekaligus minta sedekah seikhlasnya.

S : (masih terheran- heran, kalau ketemu orangnya pasti gak nyangka dia peminta- minta. Ibunya rapi, nenteng tas, dan pakai baju bersih.) Ibunya gak ada, Bu. Lewati saja.

B : Saya belum makan, Mbak. Seikhlasnya saja.

S : (Pergi ambil uang, langsung kasih, 500)

Budaya meminta- minta menjamur, banyak yang ingin dapat uang dengan cara termudah. Dengan memberi mereka uang, saya yakin justru membuat mereka semakin nyaman. Jelas, ini pada akhirnya merugikan mereka dan saya sendiri. Tapi, apa yang bisa saya lakukan?

Ada ide?

**Saya tidak merujuk pada data- data, tulisan ini murni pengalaman sehari- hari.

63 thoughts on “sampah masyarakat

  1. Emang mereka nyaman sama pekerjaan ini karena emang penghasilannya di Bandung gede, misalnya dikasih pekerjaan tetap jadi petugas kebersihan tapi ga betah.
    Bukannya suudzon atau apa, tapi pengemis yg tua pun sama ga benernya, pernah liat maenin hape super bagus, ngomong kasar, pura-pura lemah dan cacat padahal masih sehat.
    Menurut saya sih sedekah terbaik buat mereka adalah ga ngasih mereka. 😀

  2. JIka berbicara mengenai hal yang satu ini …
    memang serba salah ya Tus …
    ndak diberi … tapi kok kasihan …
    diberi … tapi kok terus-terusan …

    Jujur … saya selalu mengandalkan intuisi saya …
    jika hati saya berkata perlu dikasih … ya saya kasih …
    tetapi jika hati saya berkata sebaliknya … dengan sopan saya berkata … Mohon maaf ya Pak – Bu – Bang – dik …

    Saya berharap … yang seperti ini … semakin hari semakin berkurang

    Salam saya Tutus

    (18/2 : 10)

Leave a reply to tuaffi Cancel reply