Saat A usia 15 bulan saya akhirnya belajar tentang apa, mengapa, dan bagaimana speech delay. Sebelumnya, saya curhat sana sini, di whatsapp grup ini itu, kenapa A belum juga mengoceh? Bahkan panggil mama pun belum. Padahal milestone perkembangan bahasa di usia ini harusnya sudah bisa mengucapkan 4- 5 kata. Jawaban yang saya dapat selalu sama : sering- sering bacain cerita dan ajak ngobrol, yang sejujurnya sudah selalu saya lakukan. Hingga semua orang yang mengenal saya sepakat, bahwa saya jadi banyak ngomong, cerewet malah, sejak ada A.
Berulang kali dibesarkan hatinya oleh keluarga, βyang penting kan kalau dipanggil nyahut. Kalau diperintah tanggap. Ditanyain, tahu maksudnya.β Ditambah : anaknya orang bisa ngomong ya mestinya bisa ngomong. Dan lagi riwayat adek saya yang juga terlambat ngomong hingga usia 2 tahun, bikin saya abai dan makin terlena.
Hingga suatu hari saya baca tentang betapa kompleksnya seseorang untuk bisa mengeluarkan suara. Mengajak ngobrol dan bercerita adalah proses input data. Bila tidak ada hambatan pada kognitifnya, anak yang sering diajak ngobrol, kemampuan bahasa reseptif-nya, kata yang dimengerti, bagus. A mengerti instruksi sederhana. Misal : buang bungkusnya di tempat sampah. Itu bisa dia lakuin. Perintah untuk tunjuk anggota tubuh juga lancar. Mengenali orang, juga oke. Nah, bisa saya simpulkan A tidak memiliki ganguan kognitif.
Continue reading